Bola Salju Jual Beli Jabatan di Pemerintahan Desa

Sep 09, 2024

Oleh: Muhammad Aras Prabowo

Akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA)

Direktur Lembaga Profesi Ekonomi dan Keuangan (LPEK) PB PMII


Portal Gelung - Salah satu program unggulan dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yaitu, membangun Indonesia dari desa. Konsekuensinya harus menggelontorkan banyak dana untuk merealisasikan program tersebut. Hingga akhir kepemimpinannya, sudah ratusan trilliun anggaran yang dialokasikan ke desa diseluruh Indonesia.

Ini angin segar untuk pembangan desa, peruntukan dana desa untuk pembangunan sarana dan prasarana Desa untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Tujuannya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan.

Prosedur penggunaan dan desa sudah diatur sedemikian rupa demi memastikan produktifitas anggaran tersebut serta akuntabilitas dan transparansinya. Karena dana desa, saat ini menjadi perhatian banyak orang, termasuk dalam kontekstasi politik.

Perebutan jabatan Kepala Desa dan berbagai perangkat yang dimilikinya. Apalagi dengan UU Desa yang baru, jabatan Kepala Desa menjadi 8 Tahun satu periode.

Pasal 39 ayat 1 menjelaskan Kepala Desa memegang jabatan selama delapan tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.

Kemudian Pasal 39 ayat 2 mengatur bahwa masing-masing kepala desa dapat menjabat maksimal dua kali masa jabatan secara berturut-turut maupun tidak secara berturut-turut.

UU Desa adalah kebijakan yang positif untuk Pembangunan Desa. Bukti keberpihakan Pemerintah tehadap desa.

Perpajangan masa jabatan misalnya, kita harapkan menjadi trigger dalam mendorong kemajuan pemberdayaan masyarakat Desa.

Tapi tentu tidak sesederhana itu. Ada banyak tantangan untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki desa. Khususnya dalam tatakelola manajemen dan keuangan Desa. Karena kebijakan ini, banyak Desa yang mampu berakselerasi dan menjadi Desa maju.


Tapi ada banyak pula Kepala Desa dan aparatny berurusan dengan hukum karena penyelewengan tata kelola manajemen dan keuangan.

Banyak menjadi korban atas kesilaun dana desa yang berujung di balik jeruji besi. Ungkapnya sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi penyelewengan tatakelola manajemen dan keuangan desa. Korupsi dana desa kian massif.

Kepala Desa dan Aparat Desa menjadi elit, bahkan raja-raja kecil di daerahnya masing-masing.

Rompi kuning kian sering terlihat di media-media yang dikenakan Kepala Desa dan Aparat Desa.

Itu karena kurangnya pemahaman yang memadai dalam tatakelola manajemen dan keuangan desa.

SUMBER : Makasar Tribun